Jumat, 29 Oktober 2010

SUPERMAN IS DEAD STORY,


Jangankan untuk skala lokal Ball, dalam lingkup nasional sekalipun cuma ada sedikit band yang mampu melewati satu dasa warsa. Superman Is Dead (SID) adalah satu dari segelintir kelompok musik yang sanggup eksis bukan hanya melewati rentang sepuluh tahun tapi juga, hebatnya lagi, dengan personel yang sama, tak berubah, sejak awal berdiri.
Benar, ketika grup lain untuk terus bertahan berdiri tegak harus melalui rangkaian proses bongkar pasang, SID sama sekali tidak. Dari sejak merilis album pertama, Case 15, pada tahun 1997, hingga album ke-4 yang rencananya dirilis pada penghujung 2008; anggotanya ya masih dia-dia lagi: Bobby Kool (biduan, gitar), Eka Rock (bas, vokal latar), serta Jrx (drum). Dan kekompakan trio ini, sejauh yang saya tahu, adalah bukan sekadar kosmetik, “lips service”, semata buat konsumsi publik, dangkal di permukaan saja. Sedemikian solid dan (relatif) seiya-sekatanya hubungan antar personel ini sedari awal, pasti bukan perkara gampang. Berkaca saja pada diri sendiri, evaluasi ke dalam dulu, apa bisa kita konstan menjaga harmoni kekerabatan sebegitu panjang dan lama? Jika anda perkasa bilang, “Tentu bisa”, well, anda patut mega jumawa. Sebab anda termasuk satu dari sejuta yang sukses melakukan itu. Walau begitu, saya berani bilang, anda masih belum sejajar dengan SID karena yang lebih kompleks lagi adalah sungguh tak mudah rapi jali menata kerukunan para seniman. Wih, itu mah susah banget! Jamak diketahui, seniman pada umumnya, dan musisi pada khususnya, adalah sosok anomali, berbeda dengan orang kebanyakan, menjalani hidup dengan caranya sendiri, emosinya liar lagi labil, plus yang pasti: punya ego dengan kadar menjulang. Pendeknya, musisi itu sulit diatur. Baik diatur oleh orang lain maupun mengatur dirinya sendiri. Sudah begitu, silakan amatiran analisis band kawakan nasional yang anda kenal, pelajari dinamikanya, lalu monggo munculkan, ndak usah banyak-banyak, cukup satu institusi saja—yang selevel SID—yang interaksi domestiknya “ijo royo-royo” alias tak pernah gonta-ganti sejak dini hingga kini. Nah, ada tidak? Sampai hari ini, sejauh yang saya tahu: tidak ada, belum ada, susah ada.

Berpijak dari situ, dalam konteks Bali, di soal menuju bintang, keserasian koneksitas ke-3 pria penyuka sepeda low rider ini patut dijadikan suri tauladan. Bagaimana mereka berjuang dari bukan siapa-siapa, naik peringkat menduduki klasemen tertinggi blantika musik Pulau Dewata, hingga meraih respek tingkat Nusantara. Dus, jika tiada sengkarut di perjalanan karir, sejengkal lagi predikat “living legend” akan tergapai (indeed, siapa bilang Bali tidak bisa?) Sekali lagi, berpijak dari situ, semangat pantang menyerah macam begitu pantas dicontoh oleh kontingen musisi lokal untuk menolak mati muda serta terus berjuang menggondol mimpi gigantik. Jangan langsung muluk-muluk berharap agar fantasi “go-national” bisa direnggut atau setia digjaya tanpa mutasi anggota, persis SID. Tak usah belum apa-apa sudah berpikir soal distribusi nasional, menyasar label mayor tertentu, agresif menjalin kontak dengan lusinan media massa bergengsi. Mulai saja dengan pembenahan internal. Ambil hikmah dari jaya-wijayanya SID. Berangkat dari 2 titik dulu:
1. Satupadukan Visi & Misi
Tentukan segera, genre musik maunya apa, pop atau rock atau campuran keduanya atau mengikuti proses evolusi. Jangan pas di tengah perjalanan berselisih keras karena salah satu anggota memaksakan, katakanlah, kehadiran disc jockey sebagai pelengkap. Ketahui sejak sekarang batasan-batasannya.
Jika satu sama lain sudah berada dalam satu kelompok cukup lama, telah cukup dewasa, mantapkan hati, ambil keputusan, nge-band ini cuma buat senang-senang atau justru berniat serius. SID mungkin di tahun-tahun pertama belum berpikir sejauh itu, tapi, fren, era 90-an itu berbeda dengan masa sekarang. Hari ini, sebagian besar anak muda pikirannya cukup seragam: nge-band = ultra cool, , nge-band = bikin beken, nge-band = mudah memikat lawan jenis. Artinya: rival anda bejibun. Artinya: kompetisi duh-gusti semakin ketat. Artinya: don’t waste more time, make up your mind, to be or not to be.
2. Manajemen Ego
Ini yang susah, masing-masing anggota kudu tahu kapan bersikeras meyakinkan teman bahwa pendapatnya sahih kapan mengambil sikap mengalah. Kalau memang mau langgeng, mulailah belajar menghargai orang lain, tabiat mau menang sendiri harus bisa anda tekan ke titik terendah—kecuali konsep yang anda terapkan sejenis Megadeth: Dave Mustaine sebagai kapten (diktator?) yang memiliki otoritas absolut.
Jika anda piawai mengelola ego, hubungan antar personel terjaga apik, niscaya keutuhan kelompok akan terjaga dan akan menjadi lebih tahan banting. Tak cepat patah arang saat terjegal aral melintang. Untuk itu ada baiknya menghadirkan manajer yang selain melakukan tugas profesionalnya sebagai ketua “tim sukses” juga merangkap menjadi penjaga ritme agar tali silaturahmi antar anggota terjaga selalu selaras.
Mulai saja dari dua isu itu dulu. Jika bisa anda tangani dengan baik, silakan lanjutkan perjalanan. Kemungkinan kelompok anda tercerai-berai di tengah jalan relatif tipis. Kans kontingen anda untuk maju lebih gede. Sebaliknya, jika hanya satu faktor saja yang bisa anda penuhi, well, ambil langkah santun pula bijak: bubarkan band anda. Atau cabut dari situ, bangun mimpi baru. Sebab jika cuma sebiji persyaratan yang bisa dijalankan sama saja dengan buang-buang waktu. Dipahami?

SUPERMAN IS DEAD NEW ALBUM....
Superman Is Dead’s Angels and The Outsiders out Oct 2008

Damn….rasanya sudah 100 tahun lamanya tidak menginjakkan kaki di studio rekaman. And before we jump to the main topic, one thing we must admit, the beginning of this year 2008 and half of 2007 was disaster for Superman Is Dead! Semua terasa berat.

Diawali dengan penghianatan besar, konflik fatal dalam manajemen, kebangkrutan dan ditinggalkan oleh yang tercinta. Semua terjadi secara beruntun bak novel tragedi dari Rusia. Dingin dan tanpa ampun. Dan kita tidak bertambah muda. Dikejar usia, jadilah beban hidup terasa semakin berat dan menghantui setiap inchi langkah yang kita ambil. Saat itu SID seperti kehilangan nyawa dan akal sehat. Kebingungan dan hampir menyerah.

Tapi untung saja tidak. "Apapun yang tidak membunuhmu akan menjadikanmu lebih kuat". Don't ever fuck with that old saying coz we are the living proof. Setelah hampir setahun hancur lebur dihajar depresi dan segenap negativitas-nya, perlahan kita seperti kembali menemukan jati diri kita, siapa kita dan apa yang kita inginkan. Ditengah rasa sakit kita banyak belajar tentang hidup. Dan satu hal signifikan, malaikat akan selalu ada disana selama kita masih percaya. Energi. Api kebencian, cinta dan airmata. Itulah malaikat. Persahabatan, kesetiaan dan harapan. Itulah malaikat.

Dan kita pun terselamatkan.
Perlahan kita mencoba berdiri lagi, menulis lagu, menorehkan lirik bertintakan air mata dan alkohol untuk menemukan kembali alasan kenapa kita berada di band ini. Dan jangan pernah lupakan rasa terima kasih dari hati kami yang paling dalam untuk semua fans, sahabat dan keluarga yang tiada henti siang malam gelap terang memberi api semangat nan tulus kepada kami. We're so so lucky to have you!

Berbekal harapan setinggi matahari, akhirnya kami benar-benar bisa berdiri dan semua masalah mulai menemukan jalan keluarnya.

Masih memakai sound engineer Yoni dan dengan sound yang jauh lebih tebal dan matang, album ke 7 ini dibuka dengan Luka Indonesia yang memuntahkan rasa cinta kami pada negara dan kolaborasi dengan alat musik tradisional Bali terjadi disini, it's totally Rock-A-Bali! Tema persatuan dan harapan untuk dunia yang lebih baik juga ada di Unfuck The World dan Kuat Kita Bersinar dimana kita memadukan suara tulus anak-anak panti asuhan diiringi denting indah piano dari musisi jazz tangguh Erik. Nuansa kecintaan terhadap pada anak-anak kita pertahankan dalam lirik-lirik jujur Saint Of My Life [feat.Alit Anima on organ], Fly Away, danThe Days Of A Father. Punkrock sayang keluarga. Haha.

Kesedihan dan konten rasa kehilangan kita balut dengan gagah dalam Nights Of The Lonely [featuring Sally Jo Saharadja on violin], Menuju Temaram dan Memories Of Rose yang maha panas dimana perpaduan gitar flamenco Hendra Telephone dan permainan trumpet dahsyat Rio Saharadja akan membuat anda seolah berada di gurun Mexico dengan tequila kadaluwarsa ditangan kiri dan pistol di tangan kanan.

Lalu di track Pulang tema kerinduan akan 'rumah' dituangkan dengan semangat rockabilly nan membara dan tiba tiba terselip nada gulana suling bambu Bali dari Gembul drummer Navicula. Aneh? You'll be the judge. Tak usah terlalu lama terjebak dalam kesedihan karena kita akan menggebrak pesta pesta liar jalanan dengan Brandal Poppies 2 [based on a true fuckin story], Punkrock Lowrider, Twice In Paradise dan Jika Kami Bersama, sebuah masterpiece dimana SID untuk pertama kalinya berkolaborasi penuh dengan Jogjakarta kings Shaggy Dog. This track is guaranteed gonna bring your ass right to the party! Kemudian rasa salut dan hormat terdalam untuk sekumpulan anak muda yang tak mengenal rasa takut dan selalu ada untuk SID kita tumpahkan dalam The Outsiders.

Itulah 15 track yang berhasil kita rekam dalam masa masa terberat dalam karir kita, namun matahari sudah kembali bersinar dan hingga detik ini kami merasa seperti ribuan macan lapar yang siap menerjang apapun dan siapapun yang berdiri dijalan kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar